Minggu, 09 September 2012

Pertemuan yang Mungkin adalah Pertemuan Terakhir

8 September 2012


Kupersiapkan mentalku untuk hari ini. Hari dimana pada akhirnya bisa melihat wajahmu dengan lebih jelas dan dekat.
Kususun seribu satu rencana. Rencana-rencana kecil nan indah yang mungkin bisa kulakukan atau minimal kuutarakan padamu.

Jam menunjukkan pukul 4.45 sore.
Kuberanikan diri menginjakkan kaki di tempat kamu menuntut ilmu. Sebuah universitas ternama, universitas yang mungkin tergolong universitas nomer satu di negeri kita ini.

Dengan berbekal segenggam keberanian di tangan, aku berjalan mendekati tempat pertemuan kita yag telah kau tentukan. "Aku di tepi danau, dibawah pohon yang bunganya mekar warna ungu", katamu.
Kupandang sebentar diriku di pantulan kaca mobil. Rambutku berantakan, tampangku kusut, bajuku... ah, entahlah. Semoga saja ia tak menilai buruk  tentangku.
Tanganku mendingin, jantungku berdetak tak karuan. Ini memang bukan yang pertama kalinya aku bertemu denganmu, namun masih saja jantung ini enggan berkompromi ketika diperintahkan untuk berdetak biasa. Aku gugup!
Dan karena kegugupan ini, aku hanya berani memandangmu secara diam-diam dibalik sebuah pohon yang letaknya beberapa meter dari tempatmu duduk. Kamu sedang membaca buku. :)
Cukup lama aku memandangmu dari sudut itu, hingga akhirnya masuk pesan singkat darimu ke ponselku, "kalau lama, aku pulang nih."
Membaca pesan itu, aku panik. Dengan berbekal komat-kamit do'a,  akupun mulai berjalan kearahmu.
"Dinda?" panggilmu ketika hampir sampai di tempatmu.
"ah, iya?" Kataku terbata mendengar sapaanmu.
Ya Tuhan... Aku mendengar lagi suaranya! Secara langsung! I miss you. Gumamku dalam hati.

Aku duduk tepat disebelahnya.
Kuserahkan sekotak donat yang memang sengaja ku bawakan untuknya.
Lalu, kukeluarkan lagi kotak lain yang berisi dua potongan kecil birthday cake.
"nah, kan selama ini tiap ultah aku nggak pernah ngasih kue, ini sekarang aku kasih kamu kue." kataku dengan suara yang entah terdengar seperti apa.
Kamu menerimanya, memakannya sedikit demi sedikit.
Aku senang. Amat sangat senang.
Aku menyukai tiap gerak gerik yang kau lakukan.
Caramu tersenyum kikuk, caramu berbicara, cara pandangmu yang malu-malu, caramu... semuanya.
Matahari bergerak makin ke barat, cahayanya yang keemasan memantul di permukaan danau yang berada tepat dihadapan kami. Cantik sekali.
Kami terlibat beberapa pembicaraan kecil tapi bermakna. Ya paling tidak memiliki makna bagiku, entah kalau baginya bagaimana.
Suara adzan berkumandang, kami bergegas ke mesjid, melaksanakan shalat. Setelah itu ia mengajakku ke tempatnya tinggal saat kuliah, hanya untuk meletakkan buku-buku tebal serta tas berisi laptop yang dibawanya. Aku ikut, namun tidak benar-benar sampai ke tempatnya tinggal, aku tak ingin berteu dengan temannya yang sedari awal memang kurang aku sukai.

Mungkin hampir lebih dari 20 menit aku menunggunya di jalan kecil di ujung tempat tinggalnya itu. Sembari menunggu, aku membuka sepatu yang kukenakan, kedua kakiku lecet. Perih sekali rasanya. Namun kuabaikan hal itu, kena aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Dia datang. Bajunya yang tadi telah berganti. Kami kemuadian melanjutkan perjalanan. Kali ini ia mengajakku makan. Aku memang lapar, bahkan perutku mulai terasa pedih, dari pagi aku tak sempat memakan apapun karena benar-benar memikirkan tentang pertemuan kami ini. Namun ketika makanan yang dipesannya tlah berada dihadapanku, aku tak berniat memakannya, nafsu makanku hilang begitu saja meskipun rasa perih masih mengisi rongga-rongga dalam perutku.
Mungkin karena meliha gelagatku yang ogah-ogahan terhadap makanan yang dipilihnya, atau mungkin juga karena marah melihatku yang tak juga makan, akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat itu, meskipun makanan tu bisa dibilang belum termakan olehku.
"Ayo kita ke toko buku," katanya padaku.
Aku hanya bisa mengangguk, lalu mengikuti langkahnya dari belakang.

Aku sedih, ia berjalan dengan acuh tak acuh didepanku.
Kakiku perih!
Ingin sekali rasanya aku menjerit dan menyampaikan hal itu padanya, namun kuurungkan.
Aku tak mau ia mengecapku sebagai perempuan manja yang tak bisa diajak susah. Aku tak mau ia berpikir begitu.
Kutahan terus perih yang terasa dikakiku dengan tetap berjalan secepat yang aku bisa
Namun tiba-tiba ia berkata, "masa baru segini aja udah capek. Kalau mau jalan sama aku itu mesti tahan jalan kaki, soalnya aku biasa kemana-mana jalan kaki. Gadis aja udah biasa jalan kaki kalau lagi jalan sama aku".
JLEGEERR...
GADIS?
Mantannya itu?
Langkahku terhenti. Ku pandangi dia dengan tatapan nanar.
Kenapa sih dia mesti banding--bandingin aku sama mantannya itu?
Kutahan air mataku agar tak mengalir, aku tak akan mnangis dihadapannya, aku tak inin terlihat lebih lemah lagi.
"kenapa?" tanyanya,
Aku menggeleng  lalu menyuruhnya kembali bejalan.
Tuhan...
Hatiku sakit...
Apa aku seburuk itu baginya?
Apakah aku memang tak perna lebih baik dari orang yang namanya ia sebut itu?
Tuhan...
Kuatkan aku, bantu aku menahan air mata ini agar tak mengalir...
Kuatkan aku Tuhan....
Aku berdo'a dalam hati sembari mengikuti langkahnya dar belakang.
Kupaksakan juga bibirku ini untuk mengukirkan senyum.
 Aku harus kuat.

Kami sampai di toko buku.
Ia begegas mencari buku yang diinginannya.
Karena tak tahu harus apa, akupun melangkahkan kakiku menuju rak lain yang berisi buku bacaan anak-anak.
Setidaknya mungkin ia tak akan menemukanku disana.
Kusentuh kakiku yang terasakian ngilu.
Ujung kakiku berdarah, sedikit, namun tetap saja rasanya perih.
"Cuma luka kecil kok." gumamku amat pelan.
Aku kembali berdiri dan melihat-lihat.
Tak lama kemudian ia datang dan menyapaku. Menertawaiku sejenak karena berada di tempat buku bacaan anak-anak.
Kami melihat kesekeliling, beberapa kali bercanda mengenai judul buku.
Sampai ia menunjukkan sebuah buku kehadapanku, judul buku itu "aku jujur" kalau tak salah.
Hemh...
Aku hanya bisa melengos lalu berjalan menjauh.
Ia masih saja mengungkit masalah 'itu'.
Aku tahu aku salah, aku satu-satunya yang perlu dipersalahkan dalam hal tersebut.
Tapi tak bisakah ia sedikit membiarkanku senang tanpa membuat rasa bersalah kembali memenuhi rongga dadaku sehingga aku merasa sulit bernafas?
Tak bisakah?

Kulangkahkan kakiku ke sudut ruangan. Kulempar pandanganku ke kaca tembus pandang disana. Menatap lalu lalang mobil yang ada diluar.
Berbagai hal memenuhi pikiranku, "pakah ia embenciku?" "apakah aku tak termaafkan?", "tak berartikah lagi aku baginya?", "apakah kedatanganku mengganggunya?", "apakah..."
"hei, ngapain kamu disini?" teguran darinya membatalkan pikiranku.
"ah, nggak.." aku bingung harus merespon seperti apa.

Aku lalu kemnbali berjalan mengikutinya mengitari toko buku itu.
"aku salah terus ya kayaknya dimata kamu?" cetusku tiba-tiba diengah pembicaraan kami sebelumnya.
Dia melirikku sebentar, "Dari awal kamu datang aja udah salah..."
Jleebbb..
Kata-katanya benar-benar menusuk jantungku.
Sesalah itu kah aku menemuinya?
Tenggorokanku terasa tercekat.
Aku tak tahu mesti apa. Mesti menucapkan apa?
Akhirnya kuputuskan untuk melangkah ke sudut rak buku lain yang jauh darinya.
Tanpa mampu ditahan lagi, iar mataku mengalir turun..
Aku nggak kuat... Batinku.
namun hal itu tak berlangsung lama, kuhapus air mataku cepat-cepat. Aku tak boleh bersikap selemah ini.
Aku harus lebih kuat.
 Ya! Harus!

Aku lalu kembali mecarinya, menemukannya di sebuah rak buku sedang membaca.
Kami berbicara. Beberapa kali aku dan dia tertawa bersama.
Hal ini yang selalu membuatku tak mengerti.
Dia adalah satu-satunya orang yang paling bisa membuat mood-ku berubah-ubah. Dari yang sedih menjadi seketika bahagia. Entahlah...
Apakah karena aku mencintainya atau bagaimana? Entahlah...
Akupun terlalu takut unutk mengetahui jawabannya
Karena aku tahu bila aku ternyata nanti memang masih mencintainya hal itu hanya akan menyakiti diriku sendiri.
Namun perlahan kusadari bahwa bahasa tubuhnya mengatakan bahwa ia tak ingin berada dekat deganku.
Ia selalu menarik langkah mundur beberapa kali ketika aku hendak berjalan medekatinya.
Entah karena apa.
Mungkin saja sebenarnya itu hanya gerak reflek sikap pemalunya.
Ah...
Aku tak mengerti!!!
Mungkin memang karena aku yang terlalu sensi atau apa, auku merasa ia menginginkan agar aku segera pergi.
Ia ingin aku enyah dari hadapannya.
Mataku mulai panas lagi. Kenapa aku jadi makin cengeng begini?
"kamu kayaknya takut banget ya aku deketin?" cetusku akhirnya tak tahan lagi.
"Ah.. nggak kok, biasa aja." jawabnya.

" ya udah, aku jauh-jauh deh dari kamu." ujarku akhirya lalau lagi dan lagi melarikan diri ke sudut lain yang tak terlihat olehnya. Kali ini cukup lama aku menangis. Beberapa lembar tisu kugunakan untuk menghapus air mataku.
Enough... Batinku. Aku tak ingin semakin membuatnya merasa terpaksa menemaniku.
Kumantapkan hatiku untuk kembali menemuinya.
"Aku mau pulang" kataku singkat padanya.
"oh, ya udah." ia lalu meletakkan buku yang dibacaya lalu mengikuti langkahku keluar dari toko buku itu.
Kami berdiri di luar toko buku dan saling memandang. Semoga ia tak tahu bahwa tadi aku menangis, kataku dalam hati.
"mana yang jemput kamu?" tanyanya.
"kamu pulang sana.." kataku mengabaikan pertanyaannya.
"aku baru mau pulang kalau yang jemput kamu udah dateng" katanya.
"udah, mendingan kamu pulang deh, aku ada yang jemput kook. Tenang aja." Balasku lagi.
"tapi.."
"udah, pulang sana.." kataku mulai memaksa.
"yakin?"
Aku mengangguk.
"ya udah, aku pulang" ia pun lalu akhirnya melangkah pergi.
Tess...
tepat ketika ia tak lagi terlihat air mataku mengalir...
"Maafin aku, aku sayaaang... banget sama kamu. AKu nggak bakal ganggu kamu lagi kok." Gumamku amat pelan.

 ~~~?~~~

NB:

Aku jatuh cinta dengan jalan yang salah,
Aku dicintai dengan cara yang keliru.
Maafkan aku,Kebodohanku menyeretmu dalam kisah tak menentu.
Egoku menarikmu dalam pusaran kejenuhan.
Aku memang mencintaimu...
Amat sangat mencintaimu...
Aku selalu gagal untuk menghapus cintaku.
Namun aku bertekad,
Mulai detik kutuluiskan cerita ini,
Aku akan berusaha menjauhimu sebisaku sesuai inginmu.
Aku tak ingin mendapat kebencianmu.
Bukankah cinta akan lebih baik bila terhapuskan?
Minimal cintaku padamu yang baik berakhir seperti itu.


I love you as always.
Dinda.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar