Selasa, 12 Juni 2012

Siapa?







 Adinda menutup mulutnya rapat-rapat dengan sebelah tangan, berusaha agar tangisnya tak terdengar. Tepat dibalik pintu yang dipunggunginya berdiri Dio dan Mega yang sedang berpelukan erat. Jelas sekali Dio sedang berusaha menenangkan Mega yang seang menangis entah karena apa.

Adinda menangis tanpa suara, adegan yang disaksikannya itu benar-benar membuat hatinya remuk redam. Merasa tangisnya tak mampu lagi dibendung ia pun berlari menjauhi rangan itu. Dinda berlari dan terus berlari, beberapa kali ia menabrak siswa siswa yang berpapasan dengannya di koridor sekolah.
Dinda berhenti di depan sebuah ruangan kosong di ujung koridor, ia lalu masuk dan menutup pintu ruangan itu. Dinda bersandar dipintu,lalu perlahan merosot dan terduduk di lantai. Ia terisak, tak mampu lagi ditahannya tangis yang menyumbat tenggorokannya.
“hiks… hiks…”
Dinda menangis tersedu, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Ia sudah tau sedari awal bahwa Dio memiliki perasaan khusus pada Mega, begitu pula sebaliknya. Tapi Dinda tak pernah menyangka bahwa sesakit ini rasanya melihat kedua orang itu bersama dihadapannya, apalagi sampai berpelukan.
Dinda menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, berharap hal itu akan sedikit membuat air matanya berhenti mengalir.
“Adinda?” sebuah suara yang berasal tepat didepannya itu membuat Dinda mengangkat kepalanya. Dihadapannya berdiri Junio.
Menyadari akan hal itu, dengan cepat Dinda menghapus air matanya, lalu kembali menatap Junio sambil berusaha tersenyum selebar mungkin. Berpura-pura tak terjadi apapun.
“kamu nangis?” Tanya Junio sambil ikut duduk dihadapan Dinda.
“nggak,” Dinda menggeleng cepat, “Aku Cuma kelilipan” elaknya
Junio menghela nafas, ia tahu bahwa Dinda berbohog, Sebulan mengenalnya sudah cukup bagi Junio untuk memahami karakter gadis itu.
Tapi Junio tak mendesak, ia hanya tetap memandang lurus pada Dinda yang terlihat jelas sedang berusaha menahan tangisnya.
Tess… Bobol juga akhirnya pertahanan terakhir Adinda, air mata mengalir kian deras di pipinya. , “hiks.. hiks..”Adinda menyeka air matanya agar tak mengalir, “jangan liat aku!” ujarnya lirih disela isak tangisnya.
Tanpa diduga Junio malah menangkap pergelangan tangan Adinda yang sedang berusaha menyeka air matanya, “Menangislah sepuasnya, jangan simpan terus di dalam hati, itu Cuma bakal lebih nyiksa kamu..” ucapnya lembut.
Adinda menggigit bibirnya kuat-kuat, berharap itu akan sedikit membantunya meredam tangis. “Bisa tolong kamu tinggalin aku? Aku nggak mau dilihat sama orang kalau lagi nangis” lirih Dinda disela tangisnya.
Junio menghela nafas pelan. Lalu, tanpa diduga, ia malah balik badan dan memunggungi Dinda. Hal itu tentu saja membuat Dinda heran, “kamu.. ngapain?” tanyanya dengan suara parau karena tangisnya.
“lah.. Kamu kan nggak mau kalau nangis dilihat orang lain, ya.. jadi aku kaya’ gini supaya kamu bisa nangis sepuasnya tanpa malu dilihat sama orang lain” jawab Junio enteng dengan tetap pada posisinya yang membelakangi Adinda.
Jawaban polos Junio itu membuat Adinda tanpa sadar tersenyum tipis. Ia lalu bertanya, “Kenapa kamu nggak keluar aja dan ninggalin aku nangis sendiri disini?”
Kepala Junio terlihat menengadah, seperti memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian ia pun bersuara, “Aku nggak bisa aja ninggalin cewek yang lagi nangis sendirian.”
Alis Dinda bertaut, “semua cewek?” pertanyaan itu meluncer begitu saja dari bibirnya.
Mendengar pertanyaan itu Junio menoleh, ditatapnya Dinda tepat di bola mata. Lalu lagi-lagi tanpa disangka Junio malah mendekatkan wajahnya ke wajah dinda, “nggak sih… Cuma yang nangisnya jelek aja” Jawabnya santai lalu tersenyum lebar.
Bibir Adinda mengerucut, “maksud kamu? Aku jelek gitu nangisnya?”
Alih-alih menjawab, Junio malah  tersenyum simpul, lalu menyentuh kedua pelah pipi Adinda dengan tangannya seraya berkata, “Bagus! Jangan nangis lagi yah…”
Setelah berkata begitu, Junio lalu bangkit berdiri. “Aku duluan.” Katanya seraya melangkah pergi kelua ruangan.
Adinda terpaku. Ia sendiri baru menyadari kalau air matanya telah berhenti mengalir.! Nyeri yang tadi menyengat hatinya kinipun tak lagi terasa. Aneh sekali!

***

“kamu dari mana aja, Nda?” Tanya Nia langsung ketika Adinda duduk di bangku sebelahnya.
Adinda tak menjawab, ia malah memberesi buku dan alat-alat belajarnya yang ada diatas meja dan memasukkannya kedalam tas ungu miliknya.
“Nda?” Nia yang melihat gelagat aneh sahabatnya itu lalu menarik wajah Adinda agar menghadap padanya. “kamu nangis?” tanyanya saat menyadari mata merah sahabat baiknya itu.
Adinda menggeleng, “nggak. Aku Cuma nggak enak badan. Mau pulang.” Tukas Adinda lalu bangkit berdiri keluar kelas, meninggalkan Nia yang hanya bisa menatap punggungnya menjauh dengan tatapan heran.
Adinda melangkah cepat di koridor sekolah yang sepi, kepalanya menunduk, seakan menyembunyikan wajahnya yang memang terlihat lelah.
Brug…
Saking terlalu sibuk menunduk, Adinda bertabrakan dengan seseorang. Gadis itu jatuh terduduk di lantai. “aduh…” rintihnya menahan sakit yang tiba-tiba menyerang pergelangan kakinya . Terkilir agaknya.
“maaf. kamu nggak apa-apa?”
Adinda menengadah. Deg!
Tenggorokan Adinda serasa tercekat ketika mengetahui bahwa yang ditabraknya adalah Dio.
“kamu nggak apa-apa kan, Nda?” Wajah Dio terlihat cemas, ia menunduk di depan Adinda seraya mengulurkan tangannya, “maaf, aku nggak sengaja.” Ujarnya dengan nada bersalah.
Tess…
Tanpa dapat dibendung, air bening itu mengalir begitu saja dari bola mata Adinda. Hal itu sontak membuat Dio panic, ditelitinya Adinda dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“ada yang sakit? Aku bawa ke ruang kesehatan ya? Mana yang sakit?” tanyanya panjang lebar dengan nada luar biasa cemas.
Adinda menggeleng cepat, “aku nggak apa-apa. Cuma kelilipan”
“nggak! Kamu mesti ke ruang kesehatan! Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa”
Tanpa menunggu jawaban dari Adinda, Dio langsung membantu gadis itu berdiri dan bersiap memapahnya.
“aku bisa jalan sendiri kok.” Tukas Adinda lalu melepaskan pegangan Dio.
“aduh…” Nyeri di kakinya membuat Adinda limbung kebelakang. Beruntung Dio sempat menangkapnya sebelum ia benar-benar terjatuh.
“kaki kamu terkilir ya?”
Bersambung…

2 komentar: