BAB I
·
Sahabat Kecil.
Jakarta, 1999
“ Janji ya kamu
nggak bakal ngelupain aku?” Ditha menatap anak laki-laki di depannya dengan
pandangan sedih.
Beberapa saat
alfa terdiam, anak laki-laki berumur delapan tahun itu mengalihkan pandangannya
ke langit malam yang saat itu penuh bintang .Suasana hening. Hanya terdengar
suara jangkrik di kejauhan.
Merasa tak
mendapat jawaban, Ditha menarik pelan baju Alfa, membuat anak laki-laki itu
menoleh, dan menyadari bahwa mata Ditha berkaca-kaca.
Alfa tertegun,
namun kemudian berkata pelan, “Iya, aku nggak akan pernah ngelupain kamu…”
Ditha diam, tapi
tangan kecilnya tetap menarik lengan baju Alfa, bahkan tarikan itu makin erat.
Seakan dengan tetap menarik lengan baju Alfa bisa mencegah kepergian sahabat
nya itu.
nya itu.
“Dasar cengeng!”
ucap Alfa pelan. Berusaha bercanda, agar ditha tertawa atau paling tidak
berteriak marah dan memukulnya pelan sambil ngomel seperti biasanya. Tapi, tak
seperti dugaan Alfa, tangis ditha malah meledak, gadis kecil itu berjongkok dan
menyembunyikan wajah diantara lututnya. Air mata mengalir deras di pipinya
tanpa mampu ditahan lagi.
Dalam benak
Ditha yang terpikir adalah bahwa ia tak akan pernah bisa bertemu dengan Alfa
lagi. Dan dengan mudahnya kelak Alfa akan melupakan dirinya. Apalah arti
seorang sahabat kecil bagi Alfa?
Alfa yang kaget
melihat reaksi tiba-tiba dari ditha langsung panik dan ikut jongkok di depan
ditha.
“Aduh… Dith, aku
cuma bercanda doang kok tadi. Kamu nggak cengeng kok.” Alfa berujar panik
Ditha masih
sesenggukan dan menyembunyikan wajahnya,” Kamu bakalan ninggalin aku. Kamu
jahat!” ucap Ditha lirih di tengah tangisnya.
Alfa tertegun,
tak dapat berkata apa-apa, namun akhirnya, “Iya, aku emang jahat karna bakalan
ninggalin kamu,” Alfa mengelus pelan rambut Ditha, “Tapi aku janji, aku nggak
bakalan pernah ngelupain kamu. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku
miliki, Dith. Sampai kapanpun…”
Tangis Ditha
malah makin keras.
“ Jangan nangis
lagi dong, Dith. Plisss…” Alfa jadi makin panik. Namun tiba- tiba terlintas
sesuatu di benaknya.
“ My best wish is your life’s heppiness”
ucap Alfa pelan di telinga Ditha.
Kalimat singkat
yang sebenarnya Alfa sendiri nggak tahu pasti apa artinya itu terlontar dari
mulut Afla. Dalam pikiran Alfa, kalimat
yang pernah dibacanya pada sebuah buku sampul buku itu tak ubahnya seperti kata-kata penghibur,
karna ada kata ‘happiness’ yang berarti
kebahagiaan didalamnya .
Mendengar ucapan
Alfa, Ditha perlahan mendongak. Kalimat yang terlontar dari mulut Alfa barusan membuatnya
penasaran, terdengar sebuah mantra ditelinganya. “apa artinya?” Tanya Ditha
polos.
Alfa diam,
dipandangnya Ditha, pipi sahabatnya itu basah oleh air mata, hidung dan matanya
merah. Perlahan Jemari kecil Alfa bergerak memegang kedua pipi gadis kecil itu
dan menghapus sisa air mata yang masih mengalir.
“Artinya, aku
nggak pingin liat kamu nangis” Alfa lalu menggenggam tangan Ditha,“Aku akan
ingat kamu. Kita pastiu ketemu lagi” bisik Alfa lirih.
Itu adalah
sebuah janji.
Tangan Ditha
bergerak lincah diatas selembar kertas. Menggoresnya dengan tinta ungu pena
kesayangannya. Tulisaannya masih mirip cakar ayam, tapi ditha terus menulis
dengan tekun. Senyum tipis menghiasi
bibir mungil Ditha.
Hai cebol…
Apa kabar?
Gimana di sana?
Enak? Udah dapet temen baru belum?
Kalo belum, usaha terus ya!
Tapi kalo udah. Jangan lupain aku.
Tau nggak, fa?
Kucing yang kemarin kita rawat bareng sekarang
udah melahirkan loooh… anaknya ada 6! Lucu-lucu!
Coba kamu masih ada disini, kan kita bisa pelihara berdua.
Tapi nggak apa-apa deh, biar aku dulu
aja yang jagain mereka sampai kamu balik dan kita bisa pelihara mereka
berdua.
Catatan : Oh ya, ini udah surat
aku yang ke lima dalam minggu ini, tapi, belum
satu kalipun kamu balas surat
aku. Kenepa? Kamu udah lupa ya sama aku?
Salam persahabatan
Viory Ananditha
Ditha melipat surat itu dan memasukkannya dalam sebuah amplop putih,
“Semoga cebol bales surat aku kali ini” gumam
Ditha pelan sambil meletakkan amplop berisi surat itu diatas meja belajarnya.
QQQ
Delapan tahun
kemudian…
“ Viory
Ananditha…” sapaan itu membuat Ditha menoleh.
Dibalakangnya ada dua cewek sedang berlari kecil kearahnya.
Mereka berhenti tepat di hadapan ditha.
“Riva? Rivy?
Ngapain lari-lari?” ditha memandangi Riva dan Rivi sambil geleng-geleng kepala.
Riva dan Rivi
serentak nyengir, memamerkan deretan gigi putih ala iklan pasta gigi mereka.
“nggak ada
apa-apa sih, Tha. Cuma mau lari-lari aja. Kan sehat.” Jawab Riva asal, membuat ditha
makin geleng-geleng kepala, “ya nggak, Vy?” Tanyanya pada Rivy meminta
dukungan.
“yup, betul
sekali. Tau nggak sih lo, berlari adalah salah satu jenis olah raga yang paling
mudah, aman dan murah yang dapat menyehatkan tubuh” Rivy menyahut dengan yakin
dan wajah serius.
Ditha tersenyum
tipis. Dua sobatnya yang merupakan anak kembar identik ini selalu membuat ditha
dengan sukses geleng-geleng kepala kayak anak metal melihat kelakuan unik
mereka.
“udah bikin peer
kimia?” Tanya ditha saat mereka memasuki ruang kelas.
Pagi itu kelas
masih sepi. Maklum, masih pagi banget soalnya, lagian kan anak sekolah sekarang
kan kayaknya hobi banget punya prinsip datang pas bunyi lonceng, kecuali ada
peer atau ulangan pas jam pertama. Baru deh pada buru-buru datang cepat buat
nyontek atau bikin sontekan buat ulangan.
“hah? Peer yang
mana?” Tanya Riva dan Rivy berbarengan.
Bener kan, mereka pasti lupa
seperti perkiraan ditha.
“yang kemaren, halaman
68 bagian 1 dan 2,” kata ditha sembari duduk dibangkunya.
Riva dan Rivy
serentak menepuk jidad mereka masing-masing, “gue lupa…” ujar mereka hampir
bersamaan. Dasar anak kembar, lupaan aja barengan.
“nih!” ditha
menyodorkan sebuah buku tulis yang tadi diambilnya dari dalam tas, “tu peer
gue, salin gih! Daripada disetrap bu Rina”
Riva dan Rivy
seerentak berebut meraih buku peer ditha, ngeri juga membayangkan kalo mesti diomeli bu Rina karna lupa
ngerjain peer. Guru yang terkenal dengan kata-kata pedasnya kalo marahin murid
itu memang nggak pake tandeng aling-aling kalau mau menghukum murid.
Pernah suatu
hari Kevin lupa bikin peer, dan dengan sadisnya bu Rina ngomel, “kamu tau
nggak, pelajar kayak kamu ini nih yang udah bikin generasi muda nggak pernah
berkembang ke cara berpikir yang lebih baik. Cuma tau hura-rura! Nggak pernah
mikirin sekolah, Cuma bisa ngabisin uang orang tua aja! Kamu itu….” Dan
bla..bla..bla…
Dalem nggak tuh?
Ditha meletakkan
tasnya di atas meja lalu melangkah kea rah pintu, “ gue ke kantin, ya. Minum.”
Kata Ditha pendek pada Riva dan Rivy yang sedang serius menyalin peer Ditha.
Kedua gadis berkulit putih itu hanya mengangguk cepat tanpa sedikitpun
mengalihkan pandangan dari buku peer Ditha.
Ditha menebar
pandang kesekeliling, lalu menghirup udara dalam-dalam, samara-samar tercium
bau tanah yang khas. Sisa hujan tadi malam.
Pandangan ditha
akhirnya tertuju pada seseorang yang sedang mendrible bola basket di tengah
lapangan. Pandangan mata cowok bertubuh jangkung itu lurus kearah ring. Serius
sekali. Cowok itu mengmbil ancang-ancang, bersiap melempar, dan…. DASSH….
Dengan mulus bola masuk ke dalam ring.
Cowok itu
tersenyum puas. Membuat wajahnya terlihat semakin cakep.
“Rega!”
Ditha melihat
seorang cowok lain berlari kearah Rega.
Rega.
Cowok yang
sedari tadi diperhatikan Ditha bernama Rega, Rega Pratama Adinata. Cowok yang
katanya masih ada keturunan belanda dan darah ningrat itu memang dianugrahi
Tuhan wajah yang nyaris sempurna (Nyaris, karna tak ada satupun manusia di
dunia ini yang benar-benar sempurna). Dengan mata berwarna coklat gelap, hidung
mancung, dagu lancip, tinggi 180-an, prestasi gemilang dalam bidang akademik
maupun nonakademik, serta ketajirannya, dengan sukses Rega berhasil menjadi
cowok yang memiliki predikat THE MOST WANTED BOY di sekolah Ditha.
Kalau boleh
jujur sih Ditha juga naksir sama Rega, dari dulu malah! Dari mereka SMP. Tapi
kalau dipikir-pikir lagi, Ditha sadar diri bahwa dengan segala macam perbedaan
yang ada diantara mereka, Rega tak akn pernah menyukainya, atau minbimal
menyadari bahwa Ditha itu ada. Bukannya bermaksud rendah diri, Ditha Cuma
berusaha berpikir logis aja.
“hei!” ditha
menoleh. Seorang cowok berkaca mata berdiri di belakangnya.
“Rifky! Bikin
kaget aja!” seru Ditha pura-pura sewot sambil mengelus dada.
Rifky nyengir,
“abis… elo bengong ditengah koridor, sih… emang elo ngeliat apa? Sampe bengong
gitu,” Rifky celingak celinguk kesana kemari, lalu tak lama tersenyum tipis,
“ngeliatin Rega ya?” tebaknya. Tepat sasaran.
Ditha gelagapan,
namun sebentar kemudian ia menarik ujung bibir membentuk sebuah sebyum tipis,
“ada-ada aja lo. Ngapain juga gue ngeliatin Rega? Kayak nggak ada kerjaan aja.”
Elak Ditha.
“ooh… gitu,”
tanggap Rifky cuek
Syukur dia
percaya. Batin Ditha
“ya udah, gue
duluan ya,” Ditha bersiap melangkah
pergi saat tiba-tib Rifky menahannya
“tunggu, Vio!”
Ditha berbalik,
menatap wajah Rifky yang terlihat gusar.
“apa?” Tanya
Ditha acuh, perutnya sudah bernyanyi dari tadi minta diisi
“gini…” Rifky
mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya, “bentar, Vi,” katanya lagi
seraya mengeluarkan pena, juga dari dalam saku celananya (apa gunanya tas
ransel yang dia bawa?). sebentar kemudian Rifky telah sibuk menuliskan sesuatu
di kertas itu sambil senyam-senyum nggak wajar.
Ditha menunggu
Rifky menulis dengan tangan dilipat didepan dada. Kesal juga dia sebenarnya
sama Rifky ini. Tapi ya sudah lah, liat aja dulu apa yang mau dilakukan si kaca
mata ini.
Rifky selesai
menulis. Ia lalu melipat kertas itu dan menyerahkannya ke tangan Ditha.
“apaan ‘ni?”
Tanya Ditha heran dengan alis berkerut sambil memperhatikan kertas yang sepertinya
surat itu.
Rifky menarik
napas dalam-dalam, “ini surat,
Vi! Surat!”
ujarnya dengan nada histeris yang menurut Ditha terlalu berlebihan. Ditha baru
tau kalo ternyata Rifky yang terkenal pendiam ini ternyata bisa lebai juga.
“gue juga tau
ini surat! Tapi
surat apa? Buat
siapa? Kok dikasih ke gue?” sembur Ditha dengan nada mulai jengkel.
Rifky lagi-lagi
menarik nafas panjang dan dalam, seakan oksigen dipinggir lapangan yang sepi
ini tak cukup untuk mengisi ruang-ruang di paru-parunya, “ini surat cinta!” ujarnya dengan mata melotot
jenaka, “gue titip ke elo buat…” Rifky
menggantung kalimatnya.
“buat siapa?” Tanya
Ditha mulai penasaran.
“hm….” Rifky
terlihat ragu untuk menjawab.
Alis Ditha mulai
bertaut, “eh, niat nggak mau nitipin surat? Masa’ elo mau nitipin surat ke gue,
tapi nggak mau kasih tau suratnya buat siapa. Aneh.” Sembur Ditha
Setelah beberapa
kali celingak celinguk ragu ke kanan-kiri, “Rivy!” jawab Rifky akhirnya dengan
suara berbisik dan nada dramatis.
Kening Ditha
makin keriting, “ lo naksir Rivy ?”Tanya Ditha dengan nada suara yang tanpa
sadar diatas volume normal.
Dengan panic Rifky
membekap mulut Ditha, “ ssstt.. lo berisik banget sih? Kalo gitu buat apa gue
ngomongnya bisik-bisik ke elo tadi?” uajr Rifky dengan mata mendelik.
“lephashih hue!”
perintah Ditha dengan suara amburadul karna dibekap Rifky. Sebenarnya Ditha mau
ngomong “lepasin gue”.
Bukannya
melepaskan bekaoan mulut Ditha, Rifky malah menarik tubuh Ditha ke pojok
koridor (dengan susah payah tentunya)
“gue bakal
lepasin bekapan gue, kalo elo nggak ngomong pake treak-treak”, perintah Rifky
masih dengan berbisik.
Ditha mengangguk
cepat. Bisa pingsan gara-gara lemas dia kalo dibekep terus.
“oke,” Rifky
melepaskan bekapannya perlahan.
“sialan ya lo!
Kalo sekali lagi elo berani bekap-bekap gue, gue bakal jamin Rivy bakal ilfeel
setengah mati sama lo!” ancam Ditha dengan nafas tersengal.,
Rifky meringis,
“sorry, Vi, sorry…”
Ditha menarik
nafas dalam-dalam. Mengganti CO2 dalam paru-parunya dengan O2 dalam tempo
cepat. Dia butuh udara!
“ ya udah, gue
maafin!” Putus Ditha akhirnya saat melihat wajah memelas Rifky, “ jadi, elo mau
gue ngasih surat
CINTA lo ini ke sobat gue si Rivy?”
Rifky mengangguk
cepat, “ he-eh”
Ditha
mengangguk-angguk perlahan, belagak jadi kurir profesinal yang mengemban tugas Negara.
“oke deh, ntar gue sampein. Sekarang gue cabut dulu. Bye.” Tukas Ditha akhirnya
sebelum melangkah pergi meninggalkan Rifky yang mulai senyum-senyum sendiri.
QQQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar