Selasa, 03 April 2012

Jam Pasir…


Jam Pasir…

Saat Waktu Berbicara…


By:
Dinda Kadarwati





Pernahkah kalian membayangkan memiliki sebuah kelebihan ? Seperti bisa melihat sisa umur seseorang misalnya? Mungkin  sebagian dari kalian akan berpikir hal itu keren, luar biasa, dan menakjubkan. Tapi tidak bagiku. Memiliki kelebihan seperti ini merupakan bencana besar dalam hidupku.
Aku mulai menyadari bahwa aku sedikit berbeda dari yang lain ketika aku berumur 5 tahun. Kala itu aku mulai bisa melihat sebuah jam pasir  di atas kepala tiap-tiap orang yang ku temui. Jumlah pasir dalam tiap jam pasir-jam pasir itu pun berbeda. Ada yang masih penuh dan berkurang secara perlahan, dan ada pula yang tinggal sedikit dan berkurang dengan cepat.
Anehnya, hanya aku yang bisa melihat ‘benda’ itu. Pada mulanya aku tak mengerti arti dari berkurangnya pasir dalam ‘benda’ itu sampai suatu hari tepat di hari ulang tahunku yang ke 10, suatu hal terjadi…



Pagi itu papa dan mama akan berangkat ke jogja, ada urusan pekerjaan. Kedua orang tuaku telah berpakaian rapi. Papa dengan jas hitamnya, dan mama dengan blazer coklat kesayangannya.
Saat itu aku mengamati ‘benda’ itu berada di atas masing-masing kepala mereka. Jumlah pasir dalam ‘benda’ itu tinggal sedikit dan kian menipis. Tapi aku tak perduli, karna aku sendiri masih belum mengerti arti dan akibat jikalau persediaan pasir dalam ‘benda’ itu kian menipis, atau bahkan habis.
Kedua orang tuaku tersenyum dan melambaikan  tangan kearahku dari dalam mobil. Aku tak pernah menyangka bahwa itulah kali terakhir aku bisa melihat senyum mereka.
Papa menyalahkan mesin mobil, lalu memundurkan mobil keluar dari garasi. Baru saja ¾ bagian mobil yang berhasil keluar, tiba-tiba sebuah mobil truk pengangkut gas melaju tak terkendali ke arah mobil yang ditumpangi orang tuaku. Kecelakaan pun tak dapat dihindari. Dihari itulah aku kehilangan kedua orang tuaku selamanya.
Gerimis turun siang itu, seperti ikut menagisi kepergian orang tuaku. Aku menangis tanpa suara. Entah kenapa aku tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Aku shock.
Ketika papa dan mamaku akan dikebumikan, aku baru menyadari bahwa pasir dalam ‘benda’ diatas kepala papa dan mama telah kosong. Dan dihari itulah aku mulai paham bahwa ‘benda’ itu melambangkan sisa umur seseorang.

@@@

Semenjak kepergian orang tuaku, aku mulai ketakutan setiap kali melihat ‘benda itu di atas kepala orang-orang. Terlebih lagi yang jumlah pasirnya tinggal sedikit. Tapi hal itu tak berlangsung lama, karna aku mulai terbiasa melihat kematian. Lagipula, aku menyadari bahwa walaupun aku bisa mengetahui sisa umur seseorang, aku tetap tak bisa berbuat apapun. Karna sesungguhnya hidup dan mati seseorang telah diatur oleh Tuhan.
Kalaupun ada yang bisa kulakukan, paling hanya menyapa beberapa orang yang memiliki sedikit sisa pasir, lalu dengan iseng bertanya apa impian mereka, dan bila aku bisa, aku akan sedikit membantu untuk mewujudkan impian itu.
Seperti saat ini, ketika aku melihat sesosok anak laki-laki seumuranku yang sedang duduk sendiri di bangku taman sekolah. Aku sangat mengenal sosok itu. Dia adalah Cakra, cinta pertamaku. Aku telah menyukainya dari mulai TK. Namun tak sekalipun kami pernah berbicara. Bahkan aku yakin ia tak tahu siapa namaku. Tapi sekedar pemberitahuan, Cakra sekarang menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahku. Yah… biasalah… orang popular.
 Namu aku sejenak tertegun, menyadari bahwa jumlah pasir dalam ‘benda’ di atas kepalanya kian menipis. Kenapa secepat itu pasirnya berkurang? Ini pertanda buruk!


Aku berjalan dengan langkah lebar kearah Cakra, lalu duduk tepat disamping cowok berkaca mata itu. Sekali lagi aku mengamatinya dengan seksama, kali ini dalam jarak dekat. Hampir saja aku menangis saat melihat jumlah pasir dalam ‘benda’ diatas kepalanya berkurang dengan sangat cepat.
Cakra sedang asik membaca buku, sampai-sampai tak sadar akan kehadiranku. Aku mengamatinya cukup lama. Aku tak ingin kehilangan Cakra! pikirku. Tapi aku tak bisa berbuat apapun walau tahu ia tak memiliki banyak waktu lagi.
Tiba-tiba Cakra menoleh ke arahku, menatapku tepat di manik mata.
“kehilangan gue? Maksud lo?”  Cakra tiba-tiba menoleh kearahku dan menatap dengan tatapan tajam sambil menutup buku yang dibacanya.
Aku tersentak, apa ia bisa membaca pikiranku? Atau hanya kebetulan? Aku memalingkan wajahku , menghindari tatapannya yang setajam silet. Aku merasa ada yang aneh dalam tatapan matanya, tapi aku tak tahu apa.
“jangan berpikir kalau tatapan mata gue aneh” cetusnya sekali lagi, membuat aku reflek kembali menatapnya.
Dari mana ia tahu apa yang kupikirkan? Apa dia bisa membaca pikiranku?
“ya. gue bisa baca pikiran lo” katanya lagi, membuatku semakin yakin bahwa Cakra benar-benar seorang pembaca pikiran. Yah… minimal ia benar-benar bisa membaca pikiranku sejauh ini.
“elo…”
“gue indigo.” Cakra memotong kalimatku seraya menunjukkan buku yang tadi dibacanya padaku. AKU ADALAH INDIGO, itulah judul yang tertera pada cover buku itu.
Lagi-lagi aku kembali terpaku, namun hanya sebentar. Lalu secara reflek otakku memerintahkan agar aku tak lagi boleh memikirkan tentang ‘benda’ itu dihadapannya.
“benda apa? Kenapa elo nggak boleh mikirin benda itu di depan gue?” tanyanya beruntun. Lagi-lagi ia membaca pikiranku. Sial!
Aku menggeleng, “nggak… bukan apa-apa…” elakku.
Aku lalu diam, begitu pula dengan Cakra. Cowok bermata kelabu itu hanya terus memandangiku tanpa suara. Berusaha membaca pikiranku, agaknya.
Aku kembali teringat akan tujuan awalku menyapanya. Mengabulkan keinginan cowok satu ini. Yah… itupun jika aku bisa.
“Cakra…”
Belum selesai lagi kalimatku, tiba-tiba Cakra berdiri, “ayo!” ujarnya seraya menarik tanganku agar ikut berdiri.
“kemana?” tanyaku tak mengerti.
Cakra tersenyum, membuat lesung di kedua pipinya terlihat, “ lo berniat ngabulin permintaan gue kan? Kalo gitu, ada satu hal yang bisa lo lakuin. Jadi, lo mesti ikut gue sekarang”
“tapi kemana?” tanyaku ragu
“udah… Ikut aja!”

@@@

Disinilah aku sekarang. Menemani cowok bernama Cakra untuk melihat pameran fotografi.
Aku menatap Cakra tak mengerti. Kenapa dia mengajakku ke tempat ini? Apa memang inikah impiannya? Melihat-lihat pameran foto?
“ lo pasti bertanya-tanya kenapa gue ajak kesini?” lagi dan lagi Cakra membaca pikiranku.
Aku mengangguk.
“ gue ngajak lo kesini, karna inilah impian gue. Ngeliat pameran fotografi sama orang yang pantes.”
Aku mengernyitkan dahiku. Orang yang pantas? Apa maksudnya? Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa jangan-jangan ia juga menyukaiku? Ah! Tak mungkin! Aku menepis pikiran muluk itu dari kepalaku.
Kali ini sepertinya Cakra tak sempat membaca pikiranku, karna kulihat cowok jangkung itu telah asik menyusuri lorong-lorong galeri untuk melihat-lihat foto. Untung saja! Aku lalu  menyusulnya.
Lain hanya dengan aku yang menatap foto-foto itu dengan pandangan tak mengerti, Cakra menatap foto-foto itu dengan wajah serius. Sepertinya ia adalah orang yang paham  fotografi.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah foto yang tertempel di dinding ujung lorong. Objek foto itu berlatar belakang tepian jalan, dengan focus pada seorang gadis yang sedang berdiri ditengah kerumunan orang. Wajah gadis itu terlihat tenang diantara wajah panic orang-orang disekelilingnya.
Aku melangkahkan kakiku mendekati foto itu. kupandangi foto itu dengan lebih seksama, dan menyadari satu hal. Gadis dalam foto itu adalah aku!
Kutatap foto itu lekat-lekat, lalu menyadari bahwa ada secarik kertas yang tertempel di dinding tepat dibawah foto itu. Kertas keterangan mengenai foto. Aku membuka lipatan kertas itu. Gadis Jam Pasir, judul foto itu. By : Cakra Wirayudha. Mataku semakin melebar, gadis dalam foto itu memang benar-benar aku! Dan yang memotretku adalah…
“foto itu emang gue yang ambil,” tiba-tiba Cakra muncul dan berdiri disampingku.
Aku menoleh, memandang tepat kearah Cakra, juga kearah ‘benda yang ada diatas kepalanya. Waktunya tak banyak, batinku.
“waktu apa?” tanayanya, kembali membaca pikiranku.
Aku menggeleng kuat-kuat, “bukan apa-apa” kataku lalu kembali memandang foto berobjek diriku, “kapan foto itu diambil?” tanyaku.
Cakra tersenyum, “ setahun yang lalu, tepat dihari ortu gue kecelakaan dan meninggal ditempat kejadian” Cakra menjawab dengan wajah datar.
Wajahku menegang. Kecelakaan setahun yang lalu? Aku ingat! Kecelakaan yang menimpa pasangan yang memiliki jumlah pasir sedikit setahun yang lalu. Mereka orang tua Cakra?
“muka lo nggak usah tegang gitu dong…” ujar Cakra santai, “mereka Cuma ortu tiri gue” sambungnya lagi.
“tiri?’
“ya. Tiri.” jawabnya santai.

@@@

Aku melangkah pelan disebelah Cakra. Mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya ada dalam pikiran cowok satu ini.
Tapi tanpa sadar aku tersenyum sendiri, entah kenapa tiba-tiba aku berpikir bahwa ini adalah sebuah kencan. Kencan pertama dengan orang yang kusukai.
Langkah Cakra terhenti, cowok berkaca mata itu menoleh dan menatapku tepat di bola mata. Ups… mati aku!
“Aure, lo suka sama gue?” Tanya Cakra padaku dengan ekspresi menahan senyum. Nah loh!  bener kan… dia membaca pikiranku lagi.
Aku tak menjawab, tapi aku yakin wajahku telah sewarna dengan kepiting rebus saat ini.
Cakra tersenyum simpul, “ nggak usah dijawab juga nggak apa-apa kok. Gue nggak maksa” katanya sambil mengulum senyum dan mengacak-acak rambutku. Membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku baru tahu kalau Cakra adalah sosok yang cukup lembut.
“bentar ya, gue beli minum dulu. Elo tunggu disini aja”
Aku mengangguk. Masih belum berani menatap wajah Cakra.
Setelah merasa Cakra pergi cukup jauh, barulah aku berani menegakkan kepalaku kembali. Saat itulah aku baru sadar, sisa pasir dalam ‘benda di atas kepala Cakra benar-benar mendekati kosong.
Tubuhku bergetar hebat. Tidak! Jangan Cakra! Aku tak ingin kehilangan dia!
Aku menebar pandang ke sekeliling, mencari sumber maut yang sedang mengincar Cakra.
Mataku tertuju pada sebuah angkot yang tengah melaju kencang…. Ke arah Cakra!
Kepalaku terasa berputar. Mencari cara untuk menjauhkan malaikat maut yang sedang mengintai Cakra.
Pandanganku sejenak teralih pada cermin cembung kabur di tepi jalan. Aku melihat pantulan diriku disana. Dengan ‘benda’ itu tepat diatas kepalaku! Aku terdiam, baru kali ini aku bisa melihat ‘benda’ milikku sendiri. Selama ini aku hanya bisa melihat milik orang lain.
Sepersekian detik aku tertegun, terlebih lagi saat menyadari sisa pasir dalam ‘benda’ milikku masih penuh. Saat itu aku sadar, ada sesuatu yang bisa kulakukan!
Aku berlari sekuat tenaga kearah Cakra, berpacu dengan malaikat maut .
“Cakra…. Awas!!!” Aku berteriak keras lalu mendorong tubuh Cakra ke sisi seberang jalan.
Aku lalu melihat kearah angkot yang siap menghantam tubuhku, sekilas aku melihat pantulan ‘benda’  milikku disana. Isinya berkurang drastic. Detik itu juga aku berpaling kembali menatap Cakra, cowok berkaca mata itu terduduk ditepian jalan dan menghadap tepat kearahku.
Aku tersenyum pada Cakra saat kulihat pasir dalam ‘benda’ miliknya kembali terisi penuh. Senyum terakhir.
“aku sayang kamu” ucapku tulus tanpa suara. Setidaknya ia harus tahu perasaanku.
Brak….
Aku meninggal.

Jam Pasir. . .
Saat waktu berbicara…




Tubuhku terpelanting beberapa meter setelah tertabrak. Tapi tak apa. Aku ikhlas.
Disinilah aku sekarang, melayang tepat diatas tubuhku yang bersimbah darah. Agaknya aku menjadi roh untuk beberapa saat.
Kulihat dibawah sana Cakra berlari kearah tubuhku yang bersimbah darah lalu memeluk jasad ku. Cowok berkaca mata itu menangis dan mengguncang- guncang tubuhku.
Kudengar ia berkata dengan suara parau, “ bangun, Re! Aure! Bangun…” lirihnya , “kenapa lo korbanin jam pasir lo buat gue? Kenapa lo nggak biarin aja gue yang ketabrak? Kenapa , Re? Kenapa?! Gue udah tau semuanya, Re! gue udah tau dari awal kalo lo bisa ngeliat kalo jam pasir gue udah tinggal dikit! Tapi kenapa gue nggak sempet baca pikiran lo kalo elo mau ngorbanin diri lo buat gue!? Kenapa?....” Cakra terisak sambil memeluk tubuhku yang tak lagi bergerak, tangisnya pecah ditengah kerumunan orang-orang yang mulai berdatangan.
Air mataku perlahan mengalir, “ aku justru bersyukur karna kamu nggak sempet baca pikiran aku di saat terakhir. Dan  jam pasir punya aku, emang sengaja aku kasih buat kamu. Semua… karna aku sayang kamu, Kra, dan aku mohon… hiduplah dengan jam pasirku”

@@@





Tidak ada komentar:

Posting Komentar