Selasa, 03 April 2012

NYAWA



"NYAWA"





Saat Kau Harus Kehilangan Dia karna Takdir….



By : Dinda.



Hujan turun dengan derasnya, seakan ikut sedih akan kepergian Randy untuk selamanya.
Pemakaman telah sepi kala itu. Para pengantar jenazah telah pulang beberapa jam yang lalu. Tapi masih ada seseorang disana. Menangis tanpa suara, terduduk disamping nisan Randy.
“maafin gue, Ran. Andai waktu itu gue nggak ngelepasin tangan lo, elo pasti masih ada sekarang. Lo nggak akan pergi secepat ini…” Tanzil berkata pelan dengan suara parau.
“maafin gue, Ran, maaf…”
lirih Tanzil. Rasa bersalah memenuhi rongga dadanya, membuatnya merasa sulit bernafas.
“Zil…” seseorang menyentuh pelan bahu Tanzil lalu ikut jongkok di sebelah Tanzil.
“Zurra?” Tanzil menatap gadis berkacamata disampingnya dengan tatapan lelah.
Zurra menatap sedih kearah Tanzil, ia tak ingin Tanzil seperti ini. Ini bukan Tanzil yang ia kenal. Tanzil yang biasanya selalu terlihat ceria, sekarang terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya.
“Zil… pulang ya?” bujuknya pelan seraya memayungi Tanzil dengan payung yang dibawanya.
Tanzil menggeleng pelan, “nggak, Ra. Gue nggak mau ninggalin Randy sendiri. Gue yang udah bikin dia kayak gini! Gue mau nemenin dia, Ra” tolak Tanzil dengan suara bergetar
“tapi dia udah nggak ada, Zil… dia udah meninggal” ujar Zurra pelan.
“Zurra!” hardik Tanzil, “dia emang udah meninggal, dan itu gara-gara gue!”
“itu bukan salah lo, Zil!” ujar Zurra tegas
Tanzil bangkit berdiri, begitu pula Zurra.
Tanzil menatap Zurra, “ dia pergi gara-gara gue, Ra!”
“Zil…”
“Dan gue mesti nyusul dia! Gue juga harus mati!”
“Zil…”
“Gue udah bunuh sahabat gue sendiri! Gue pantes mati, Ra! Gue…”
PLAK…
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Tanzil.
“Tanzil cukup!” jerit Zurra
“Ra…”
“nyusul lo bilang?! Lo pingin mati? Gampang banget ya lo ngomong kayak gitu? Gampang kalo lo emang pingin mati… lo tinggal lompat dari jembatan kayak yang udah Randy lakuin!” Zurra menarik nafas sejenak, dadanya naik turun menahan luapan emosi, “ tapi kalo lo mati, lo pernah mikir nggak sih gimana perasaan orang-orang yang lo tinggal?” Zurra menatap Tanzil nanar, “Randy itu mati konyol! Dan itu udah takdir. Bukan salah elo atau siapa pun kalau dia pergi. Itu takdir Tuhan, Zil! Takdir Tuhan!” tandas Zurra dengan suara meninggi.
Wajah Tanzil menegang, jelas sekali ia marah mendengar Zurra mencemooh sahabatnya.
“jangan sekali-kali lo bilang dia mati konyol!” hardik Tanzil lalu menuding Zurra  dengan telunjuknya.
“kenapa? Dia emang mati konyol kok! Dan gue nggak akan ngebiarin elo kehilangan nyawa lo dengan jalan yang sama konyolnya dengan dia!”jerit Zurra dengan nada berani.
Tangan Tanzil terangat, bersiap menampar  Zurra. Tapi tangannya terhenti diudara. Ia tak mungkin menampar Zurra.
“kenapa? Ayo tampar! Ayo! Gue cuma ngomong yang sebenarnya!” tantang Zurra.
Tanzil terdiam.  Tiba-tiba dikepalanya berputar rentetan-rentetan kejadian tiga hari yang lalu…

31 Desember 2010.
Pukul 10.00

“jadi kan acara kita ntar malem?” Tanya Axcel sembari menyeruput es jeruk miliknya.
“jadi dong…” jawab Randy penuh semangat, “ kan tahun lalu batal, jadi tahun ini nggak boleh batal lagi dong.” Randy tersenyum lebar, “ lo ikut kan, Zil?
 Tanzil tak menjawab. Hati kecilnya menolak menuruti ide gila teman-temannya ini.  Terlalu berbahaya! Bayangkan, teman-temanya berencana terjun bebas dari jembatan setinggi kurang lebih 500 meter langsung kelaut! Tanpa pengaman pula! Apalagi hal ini dilakukan hanya sebagai ajang uji nyali dalam perayaan tutup tahun sekaligus penyambutan tahun baru.
“gue nggak yakin, Ran!” ujar Tanzil akhirnya setelah diam dan berpikir cukup lama.
“yah… Zil. Nggak asik banget sih.” Protes Randy
“ itu bahaya, Ran! Lo bisa aja mati!” Tanzil berkata dengan nada serius.
“ nah..,. justru itu kita butuh alo, Zil. Lo kan atlit sprint and renang tuh, jadi elo adalah orang yang paling bisa kita andalkan untuk ngbantuin serta ngurangin resiko terjadinya hal-hal yang nggak diinginkan. Lo ntar yang bantuin kita-kita buat berenang ketepi setelah loncat” ujar Axcel berusaha meyakinkan.
“tapi…”
“nggak pake’ tapi-tapian! Gue percaya kok sama lo.” Cetus Randy dengan senyum mengembang.

@@@

31 Desember 2010.
Pukul 23.00

Tanzil tiba di tempat janjian mereka tepat pukul sebelas malam.  Jembatan telah ramai dipadati pengunjung kala itu. Karna jembatan ini merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi saat malam pergantian tahun.
Tanzil menebar pandang kesekeliling, lalu mendapati teman-temannya telah berkumpul di pagar pembatas jembatan.
Tanzil turun dari mobil lalu berjalan menuju tempat teman-temannya berdiri.
“hai, Zil…” Randy dan beberapa anak lain menyambut kedatangan Tanzil dengan senyum mengembang.
 “kapan kita mulai?’ tanpa ba-bi-bu Tanzil langsung menodong Axcel, pencetus ide gila ini dengan pertanyaan.
Axcel tertawa, “ cie’elah… udah nggak sabar dia…” canda Axcel berusaha meredakan ketegangan diwajah Tanzil.
Tanzil menatap Axcel tajam, “ gue Tanya Kapan - Kita – Mulai?” Tanzil mengulangi pertanyaannya dengan penuh penekanan. Jelas sekali ia tak ingin bercanda.
Axcel mengerti, “ udah mau mulai kok. Kita dari tadi Cuma nungguin lo doang” jelasnya.
Tanzil berpaling menatap Randy, “ gue Tanya sekali lagi. Lo yakin?”
Randy kembali tersenyum ,” gue yakin karna gue percaya sama lo”. Jawabnya mantap.

Acara dimulai…

Tanzil, Gilang, dan Sapta telah bersiap dibawah jembatan. Mereka bertugas untuk menarik teman mereka yang telah terjun ketepian.
Diatas jembatan, Randy, Axcel, Rizy, dan Rizky telah bersiap untuk terjun.
Dari bawah Sapta menyalahkan senter sebagai aba-aba pertandingan uji nyali dimulai.
Axcel mendapat giliran pertama.
Syut…
BYURRR…
Tubuh Axcel membentur permukaan air. Dengan sigap Gilang terjun kedalam air, berusaha menggapai tubuh Axcel.
Dapat!
Dengan susah payah Gilang berenang ketepian dengan Axcel bersamanya.
Gilang naik kedarat dibantu oleh Tanzil dan Sapta.
“gila…” Gilang terengah, “ arusnya deres banget, bahaya!” Gilang menarik nafas, “ mendingan suruh yang lain jangan lompat. Mereka bisa keseret arus!” terang Gilang dengan wajah serius dan bibir bergetar menahan dingin.
“ uhuk… uhuk…” Axcel tiba-tiba muntah darah.
“Xel?” serentak semua berpaling menatap Axcel yang terbatuk-batuk. Dari mulutnya mengalir darah segar, sepertinya Axcel kesulitan bernapas.
Jauh diatas, Randy dan yang lainnya mengira bahwa Axcel telah selamat berenang ketepi.
Randy yang mendapat giliran kedua bersiap di tepi jembatan.
Menyadari akan hal itu, serempak Tanzil, Sapta, dan Gilang berteriak, memperingatkan agar Randi jangan melompat.
Mereka berteriak sekuat tenaga, namun apa daya, karna jarak yang jauh serta hiruk pikuk diatas jembatan, Randy, Rizy, dan Rizky tak dapat mendengar teriakan mereka.
Dengan senyum mengembang, Randy melompat…
Syuuut…
BYURRR…
Tubuh Randy menghantam permukaan air.
“ Randy!!!”
Byur…
Tanzil langsung ikut terjun kedalam air. Tanzil berenang sekuat tenaga menuju tempat Randy jatuh. Tapi Randy tak terlihat dimanapun. Kegelapan serta arus air yang deras semakin mempersulit Tanzil menemukan Randy.
“Zil…” sayup-sayup Tanzil mendengar Randy memanggilnya.
“Randy!” Tanzil segera berenang mendekati tubuh Randy yang timbul tenggelam tak jauh darinya.
Dapat.
Tanzil meraih tanganRandy.
“tahan, Ran. Gue bawa lo ketepi!” ujar Tanzil.
Randy terlihat lemas, antara sadar dan tidak.
Tanzil berusaha berenang ketepi, tapi arus yang deras malah menariknya kian ketengah. Ke arah pusaran air!
“Zil… tolong jangan lepasin gue…” lirih Randy memohon.
“iya! Lo bertahan aja. Gue nggak akan lepasin elo!” ujar Tanzil meyakinkan.
Di tepian, tampak Sapta sedang berenang kearah Tanzil dan Randy, tapi lagi-lagi derasnya arus jadi penghalang.
Tanzil tak dapat berenang dengan stabil, apalagi sambil memegangi Randy. Tanzil terseret pusaran air! Beberapa kali air laut tertelan olehnya.
Tanzil berusha sekuat tenaga. Namun apa daya, ia telah sampai pada batasnya.
Karna lemas, pegangan tangannya pada Randy terlepas.
“Zil…” panggil Randy lemah sebelum tubuhnya hilang ditelan pusaran air.
“RANDY!!!” Tanzil masih berusaha menggapai tangan Randy.
Tapi gagal!
@@@

Tanzil menatap Zurra nanar, dari bola matanya mengalir bulir-bulir air, “ gue pantes mati buat nebus kesalahan gue ke Randi, Ra…” lirinya
Zurra menghela nafas, tak menyangka Tanzil bisa terlihat serapuh ini. “ Zil, denger ya, kalau semua orang di dunia ini berpikir untuk nebus kesalahannya dengan kematian, berapa banyak orang yang akan mati dalam keadaan berdosa? Tanpa manfaat? Berapa banyak, Zil?”
Tanzil diam.
“apalagi kalau misalnya sebenarnya orang itu nggak salah.” Sambung Zurra.
Tanzil menatap Zurra dengan tatapan kosong, “gue nggak perduli…” lirihnya, “ yang gue tau… gue bersalah dan gue harus nyusul Randy” ucapnya dengan suara parau.
Zurra menatap Tanzil tak percaya? Sebesar itukah rasa bersalah yang dirasakan Tanzil?
Tiba-tiba Zurra menarik tangan Tanzil, “ ayo!”
Tanzil menatap Zurra tak mengerti.
“ayo!” ulang Zurra.
“kemana?” Tanya Tanzil.
“lo pingin mati, kan?” Tanya Zurra dengan nada sinis, “ kalo gitu ayo! Kita mati bareng! Kita terjun sama-sama dari jembatan tempat Randy lompat” ujar Zurra dengan tatapan serius. Tak ada nada bercanda dari suaranya.
Tanzil terpana, ditepisnya tangan Zurra, “ lo ngomong apa, sih? Lo nggak boleh ngomong gitu!” hardiknya pada Zurra.
Zurra menatap Tanzil tepat dimanik mata, “ kenapa lo boleh ngomong gitu sedangkan gue nggak? Kenapa?!” Tanya Zurra dengan suara meninggi.
“…”
“kenapa, Zil…?”
Tanzil tak berani membalas tatapan Zurra, cowok bermata coklat terang itu hanya menunduk, “ gue pantes mati, Ra…” lirihnya.
Hati Zurra sakit mendengarnya.
Sreet…
Zurra berjinjit lalu memeluk Tanzil dengan erat, “ lo nggak boleh mikir gitu, Zil. Lo boleh nangis sepuas lo, tapi lo nggak boleh mati…” bisik Zurra pelan dengan air mata berlinang.
Tanzil tertegun, tak menyangka Zurra akan memeluknya seperti ini.
“Ra…?”
“gue sayang sama lo, Zil… gue sayang sama lo…” lirih Zurra.
Perlahan Tanzil membalas pelukan Zurra, “ makasih, Ra, makasih…”
@@@
Tanzil berdiri disebelah makam Randy dengan Zurra disampingnya.
Ditatapnya Zurra sekilas, dan dibalas Zurra dengan anggukan serta senyum tipis.
Tanzil mengeluarkan sepucuk surat dari saku celananya, lalu diletakkan diatas makam Randy.
“buat lo, Ran…” ujar Tanzil pelan.
Tak lama, Tanzil dan Zurra melangkah pergi.

Dear Randy…
Ran… maafin gue…
Gue emang salah karna udah ngelepasin tangan lo waktu itu, tapi gue bener-bener nggak sengaja…
Andai waktu bisa diulang, gue pingin banget ngubah semuanya. Memperbaiki kebodohan gue.
Ran…
Tapi gue sadar, seperti kata Zurra, “ ini semua takdir Tuhan”. Dan semoga ini merupakan hal yang terbaik buat semuanya… dan terutama buat elo.
Ran… sampai kapanpun, elo akan selalu jadi sahabat terbaik yang pernah gue punya. Lo akan selalu ada dihati gue. Nggak akan pernah hilang.
Selamanya…

Dari sahabatmu,
Tanzil.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar