"NYAWA"
Saat Kau Harus Kehilangan Dia
karna Takdir….
Hujan turun dengan derasnya, seakan ikut sedih akan kepergian
Randy untuk selamanya.
Pemakaman telah sepi kala itu. Para
pengantar jenazah telah pulang beberapa jam yang lalu. Tapi masih ada seseorang
disana. Menangis tanpa suara, terduduk disamping nisan Randy.
“maafin gue, Ran. Andai waktu itu gue nggak ngelepasin
tangan lo, elo pasti masih ada sekarang. Lo nggak akan pergi secepat ini…”
Tanzil berkata pelan dengan suara parau.
“maafin gue, Ran, maaf…”
lirih Tanzil. Rasa bersalah
memenuhi rongga dadanya, membuatnya merasa sulit bernafas.
“Zil…” seseorang menyentuh pelan bahu Tanzil lalu ikut
jongkok di sebelah Tanzil.
“Zurra?” Tanzil menatap gadis berkacamata disampingnya
dengan tatapan lelah.
Zurra menatap sedih kearah Tanzil, ia tak ingin Tanzil
seperti ini. Ini bukan Tanzil yang ia kenal. Tanzil yang biasanya selalu
terlihat ceria, sekarang terlihat seperti orang yang kehilangan semangat
hidupnya.
“Zil… pulang ya?” bujuknya pelan seraya memayungi Tanzil
dengan payung yang dibawanya.
Tanzil menggeleng pelan, “nggak, Ra. Gue nggak mau
ninggalin Randy sendiri. Gue yang udah bikin dia kayak gini! Gue mau nemenin
dia, Ra” tolak Tanzil dengan suara bergetar
“tapi dia udah nggak ada, Zil… dia udah meninggal” ujar
Zurra pelan.
“Zurra!” hardik Tanzil, “dia emang udah meninggal, dan itu
gara-gara gue!”
“itu bukan salah lo, Zil!” ujar Zurra tegas
Tanzil bangkit berdiri, begitu pula Zurra.
Tanzil menatap Zurra, “ dia pergi gara-gara gue, Ra!”
“Zil…”
“Dan gue mesti nyusul dia! Gue juga harus mati!”
“Zil…”
“Gue udah bunuh sahabat gue sendiri! Gue pantes mati, Ra!
Gue…”
PLAK…
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Tanzil.
“Tanzil cukup!” jerit Zurra
“Ra…”
“nyusul lo bilang?! Lo pingin mati? Gampang banget ya lo
ngomong kayak gitu? Gampang kalo lo emang pingin mati… lo tinggal lompat dari
jembatan kayak yang udah Randy lakuin!” Zurra menarik nafas sejenak, dadanya
naik turun menahan luapan emosi, “ tapi kalo lo mati, lo pernah mikir nggak sih
gimana perasaan orang-orang yang lo tinggal?” Zurra menatap Tanzil nanar,
“Randy itu mati konyol! Dan itu udah takdir. Bukan salah elo atau siapa pun
kalau dia pergi. Itu takdir Tuhan, Zil! Takdir Tuhan!” tandas Zurra dengan
suara meninggi.
Wajah Tanzil menegang, jelas sekali ia marah mendengar
Zurra mencemooh sahabatnya.
“jangan sekali-kali lo bilang dia mati konyol!” hardik
Tanzil lalu menuding Zurra dengan
telunjuknya.
“kenapa? Dia emang mati konyol kok! Dan gue nggak akan
ngebiarin elo kehilangan nyawa lo dengan jalan yang sama konyolnya dengan
dia!”jerit Zurra dengan nada berani.
Tangan Tanzil terangat, bersiap menampar Zurra. Tapi tangannya terhenti diudara. Ia
tak mungkin menampar Zurra.
“kenapa? Ayo tampar! Ayo! Gue cuma ngomong yang
sebenarnya!” tantang Zurra.
Tanzil terdiam.
Tiba-tiba dikepalanya berputar rentetan-rentetan kejadian tiga hari yang
lalu…
31 Desember 2010.
Pukul 10.00
“jadi kan
acara kita ntar malem?” Tanya Axcel sembari menyeruput es jeruk miliknya.
“jadi dong…” jawab Randy penuh semangat, “ kan tahun lalu batal,
jadi tahun ini nggak boleh batal lagi dong.” Randy tersenyum lebar, “ lo ikut kan, Zil?
Tanzil tak
menjawab. Hati kecilnya menolak menuruti ide gila teman-temannya ini. Terlalu berbahaya! Bayangkan, teman-temanya
berencana terjun bebas dari jembatan setinggi kurang lebih 500 meter langsung
kelaut! Tanpa pengaman pula! Apalagi hal ini dilakukan hanya sebagai ajang uji
nyali dalam perayaan tutup tahun sekaligus penyambutan tahun baru.
“gue nggak yakin, Ran!” ujar Tanzil akhirnya setelah diam
dan berpikir cukup lama.
“yah… Zil. Nggak asik banget sih.” Protes Randy
“ itu bahaya, Ran! Lo bisa aja mati!” Tanzil berkata
dengan nada serius.
“ nah..,. justru itu kita butuh alo, Zil. Lo kan atlit sprint and
renang tuh, jadi elo adalah orang yang paling bisa kita andalkan untuk
ngbantuin serta ngurangin resiko terjadinya hal-hal yang nggak diinginkan. Lo
ntar yang bantuin kita-kita buat berenang ketepi setelah loncat” ujar Axcel
berusaha meyakinkan.
“tapi…”
“nggak pake’ tapi-tapian! Gue percaya kok sama lo.” Cetus
Randy dengan senyum mengembang.
@@@
31 Desember 2010.
Pukul 23.00
Tanzil tiba di tempat janjian mereka tepat pukul sebelas
malam. Jembatan telah ramai dipadati
pengunjung kala itu. Karna jembatan ini merupakan salah satu tempat yang ramai
dikunjungi saat malam pergantian tahun.
Tanzil menebar pandang kesekeliling, lalu mendapati
teman-temannya telah berkumpul di pagar pembatas jembatan.
Tanzil turun dari mobil lalu berjalan menuju tempat
teman-temannya berdiri.
“hai, Zil…” Randy dan beberapa anak lain menyambut
kedatangan Tanzil dengan senyum mengembang.
“kapan kita mulai?’
tanpa ba-bi-bu Tanzil langsung menodong Axcel, pencetus ide gila ini dengan
pertanyaan.
Axcel tertawa, “ cie’elah… udah nggak sabar dia…” canda
Axcel berusaha meredakan ketegangan diwajah Tanzil.
Tanzil menatap Axcel tajam, “ gue Tanya Kapan - Kita –
Mulai?” Tanzil mengulangi pertanyaannya dengan penuh penekanan. Jelas sekali ia
tak ingin bercanda.
Axcel mengerti, “ udah mau mulai kok. Kita dari tadi Cuma
nungguin lo doang” jelasnya.
Tanzil berpaling menatap Randy, “ gue Tanya sekali lagi.
Lo yakin?”
Randy kembali tersenyum ,” gue yakin karna gue percaya
sama lo”. Jawabnya mantap.
Acara dimulai…
Tanzil, Gilang, dan Sapta telah bersiap dibawah jembatan.
Mereka bertugas untuk menarik teman mereka yang telah terjun ketepian.
Diatas jembatan, Randy, Axcel, Rizy, dan Rizky telah
bersiap untuk terjun.
Dari bawah Sapta menyalahkan senter sebagai aba-aba
pertandingan uji nyali dimulai.
Axcel mendapat giliran pertama.
Syut…
BYURRR…
Tubuh Axcel membentur permukaan air. Dengan sigap Gilang
terjun kedalam air, berusaha menggapai tubuh Axcel.
Dapat!
Dengan susah payah Gilang berenang ketepian dengan Axcel
bersamanya.
Gilang naik kedarat dibantu oleh Tanzil dan Sapta.
“gila…” Gilang terengah, “ arusnya deres banget, bahaya!”
Gilang menarik nafas, “ mendingan suruh yang lain jangan lompat. Mereka bisa
keseret arus!” terang Gilang dengan wajah serius dan bibir bergetar menahan
dingin.
“ uhuk… uhuk…” Axcel tiba-tiba muntah darah.
“Xel?” serentak semua berpaling menatap Axcel yang
terbatuk-batuk. Dari mulutnya mengalir darah segar, sepertinya Axcel kesulitan
bernapas.
Jauh diatas, Randy dan yang lainnya mengira bahwa Axcel
telah selamat berenang ketepi.
Randy yang mendapat giliran kedua bersiap di tepi
jembatan.
Menyadari akan hal itu, serempak Tanzil, Sapta, dan Gilang
berteriak, memperingatkan agar Randi jangan melompat.
Mereka berteriak sekuat tenaga, namun apa daya, karna
jarak yang jauh serta hiruk pikuk diatas jembatan, Randy, Rizy, dan Rizky tak
dapat mendengar teriakan mereka.
Dengan senyum mengembang, Randy melompat…
Syuuut…
BYURRR…
Tubuh Randy menghantam permukaan air.
“ Randy!!!”
Byur…
Tanzil langsung ikut terjun kedalam air. Tanzil berenang
sekuat tenaga menuju tempat Randy jatuh. Tapi Randy tak terlihat dimanapun.
Kegelapan serta arus air yang deras semakin mempersulit Tanzil menemukan Randy.
“Zil…” sayup-sayup Tanzil mendengar Randy memanggilnya.
“Randy!” Tanzil segera berenang mendekati tubuh Randy yang
timbul tenggelam tak jauh darinya.
Dapat.
Tanzil meraih tanganRandy.
“tahan, Ran. Gue bawa lo ketepi!” ujar Tanzil.
Randy terlihat lemas, antara sadar dan tidak.
Tanzil berusaha berenang ketepi, tapi arus yang deras
malah menariknya kian ketengah. Ke arah pusaran air!
“Zil… tolong jangan lepasin gue…” lirih Randy memohon.
“iya! Lo bertahan aja. Gue nggak akan lepasin elo!” ujar
Tanzil meyakinkan.
Di tepian, tampak Sapta sedang berenang kearah Tanzil dan
Randy, tapi lagi-lagi derasnya arus jadi penghalang.
Tanzil tak dapat berenang dengan stabil, apalagi sambil
memegangi Randy. Tanzil terseret pusaran air! Beberapa kali air laut tertelan
olehnya.
Tanzil berusha sekuat tenaga. Namun apa daya, ia telah
sampai pada batasnya.
Karna lemas, pegangan tangannya pada Randy terlepas.
“Zil…” panggil Randy lemah sebelum tubuhnya hilang ditelan
pusaran air.
“RANDY!!!” Tanzil masih berusaha menggapai tangan Randy.
Tapi gagal!
@@@
Tanzil menatap Zurra nanar, dari bola matanya mengalir
bulir-bulir air, “ gue pantes mati buat nebus kesalahan gue ke Randi, Ra…”
lirinya
Zurra menghela nafas, tak menyangka Tanzil bisa terlihat
serapuh ini. “ Zil, denger ya, kalau semua orang di dunia ini berpikir untuk
nebus kesalahannya dengan kematian, berapa banyak orang yang akan mati dalam
keadaan berdosa? Tanpa manfaat? Berapa banyak, Zil?”
Tanzil diam.
“apalagi kalau misalnya sebenarnya orang itu nggak salah.”
Sambung Zurra.
Tanzil menatap Zurra dengan tatapan kosong, “gue nggak
perduli…” lirihnya, “ yang gue tau… gue bersalah dan gue harus nyusul Randy”
ucapnya dengan suara parau.
Zurra menatap Tanzil tak percaya? Sebesar itukah rasa
bersalah yang dirasakan Tanzil?
Tiba-tiba Zurra menarik tangan Tanzil, “ ayo!”
Tanzil menatap Zurra tak mengerti.
“ayo!” ulang Zurra.
“kemana?” Tanya Tanzil.
“lo pingin mati, kan?”
Tanya Zurra dengan nada sinis, “ kalo gitu ayo! Kita mati bareng! Kita terjun
sama-sama dari jembatan tempat Randy lompat” ujar Zurra dengan tatapan serius.
Tak ada nada bercanda dari suaranya.
Tanzil terpana, ditepisnya tangan Zurra, “ lo ngomong apa,
sih? Lo nggak boleh ngomong gitu!” hardiknya pada Zurra.
Zurra menatap Tanzil tepat dimanik mata, “ kenapa lo boleh
ngomong gitu sedangkan gue nggak? Kenapa?!” Tanya Zurra dengan suara meninggi.
“…”
“kenapa, Zil…?”
Tanzil tak berani membalas tatapan Zurra, cowok bermata
coklat terang itu hanya menunduk, “ gue pantes mati, Ra…” lirihnya.
Hati Zurra sakit mendengarnya.
Sreet…
Zurra berjinjit lalu memeluk Tanzil dengan erat, “ lo
nggak boleh mikir gitu, Zil. Lo boleh nangis sepuas lo, tapi lo nggak boleh
mati…” bisik Zurra pelan dengan air mata berlinang.
Tanzil tertegun, tak menyangka Zurra akan memeluknya
seperti ini.
“Ra…?”
“gue sayang sama lo, Zil… gue sayang sama lo…” lirih
Zurra.
Perlahan Tanzil membalas pelukan Zurra, “ makasih, Ra,
makasih…”
@@@
Tanzil
berdiri disebelah makam Randy dengan Zurra disampingnya.
Ditatapnya
Zurra sekilas, dan dibalas Zurra dengan anggukan serta senyum tipis.
Tanzil
mengeluarkan sepucuk surat
dari saku celananya, lalu diletakkan diatas makam Randy.
“buat lo,
Ran…” ujar Tanzil pelan.
Tak lama,
Tanzil dan Zurra melangkah pergi.
Dear Randy…
Ran… maafin gue…
Gue emang salah karna udah ngelepasin tangan lo
waktu itu, tapi gue bener-bener nggak sengaja…
Andai waktu bisa diulang, gue pingin banget
ngubah semuanya. Memperbaiki kebodohan gue.
Ran…
Tapi gue sadar, seperti kata Zurra, “ ini semua
takdir Tuhan”. Dan semoga ini merupakan hal yang terbaik buat semuanya… dan
terutama buat elo.
Ran… sampai kapanpun, elo akan selalu jadi
sahabat terbaik yang pernah gue punya. Lo akan selalu ada dihati gue. Nggak
akan pernah hilang.
Selamanya…
Dari sahabatmu,
Tanzil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar